KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA INDONESIA
Remaja adalah masa peralihan dari
masa anak-anak dengan masa dewasa dengan rentang usia antara 12 – 22 tahun, dimana
pada masa tersebut terjadi proses pematangan baik itu pematangan fisik, maupun
psikologis. Pada masa ini akan sulit untuk menebak perilaku remaja, kemauan dan
perilakunya oleh sebab itu, masa ini disebut juga “masa abu – abu”. Masa remaja
bermula pada perubahan fisik yang cepat, pertambahan berat dan tinggi badan
yang dramatis, perubahan bentuk tubuh, dan perkembangan karakteristik seksual
seperti pembesaran buah dada, perkembangan pinggang dan kumis, dan dalamnya
suara. Pada perkembangan ini, pencapaian kemandirian dan identitas sangat
menonjol (pemikiran semakin logis, abstrak, dan idealistis) dan semakin banyak
menghabiskan waktu di luar keluarga.
Secara tradisional masa remaja dianggap sebagai periode “Badai dan
Tekanan”, suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar.
Pertumbuhan yang terjadi terutama bersifat
melengkapi pola yang sudah terbentuk pada masa puber. Adapun meningginya emosi terutama karena anak laki-laki dan perempuan berada
dibawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru, sedangkan selama masa kanak - kanak ia
kurang mempersiapkan diri untuk menghadapi keadaan – keadaan itu (Hurlock,
2004: 212-213). Masa remaja merupakan “badai dan tekanan”,
masa stress full karena ada perubahan fisik dan
biologis serta perubahan tuntutan dari lingkungan, sehingga diperlukan suatu proses penyesuaian diri dari remaja. Tidak semua remaja mengalami masa badai dan tekanan.
Namun benar juga bila sebagian besar remaja mengalami ketidakstabilan dari
waktu ke waktu sebagai konsekuensi dari usaha penyesuaian diri pada pola perilaku baru dan harapan sosial yang baru. (Nurfajriyah,
2009: 1).
Berdasarkan
sensus penduduk 2010, jumlah penduduk Indonesia sebanyak 237.641.326 jiwa, kurang
lebih 37% atau 87.927.291 dari jumlah
penduduk Indonesia merupakan usia remaja. Namun, sangat disayangkan karena
banyak dari remaja Indonesia yang ternyata belum paham tentang masa subur,
menstruasi, kehamilan dan kegiatan seksual yang tidak diinginkan, aborsi,
HIV/AIDS dan penyakit infeksi menular seksual (IMS) lainnya serta kurangnya
komunikasi dengan orang tua. Serta dampak negatif yang ditanggung
secara sosial ekonomi, medis dan psikologis.
Pada
masa remaja akan mengalami perubahan fisik dan mental yang belum stabil.
Perubahan fisik remaja akan terlihat dengan berkembangnya organ seksual
sekunder, sedangkan perubahan mental meliputi perubahan pandangan perilaku
seksual masyarakat. Ada beberapa
faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan pandangan perilaku seksual pada
remaja, yaitu: kurangnya pengawasan dan perhatian orang tua akibat kesibukan
orang tua, orang tua mengizinkan anak – anak mereka untuk bergaul dengan bebas
tanpa memilih – milih teman yang baik, lingkungan yang semakin permisif, dan
banyaknya sumber – sumber informasi yang merangsang seksualitas seperti situs
porno dan majalah pria dewasa yang beredar luas. Ketidaktahuan remaja mengenai
masalah kesehatan reproduksi membuat mereka tidak takut untuk mencoba sesuatu
yang menyimpang, contohnya remaja sekarang telah menganggap pacaran sebagai
sesuatu hubungan yang legal untuk melakukan hubungan seks ringan seperti
ciuman.
Kesehatan
reproduksi adalah keadaan yang memungkinkan proses reproduksi dapat tercapai
secara sehat baik fisik, mental maupun sosial yang bukan hanya tidak adanya
penyakit atau kelainan. Kemampuan seseorang khususnya perempuan untuk mengatur
dan mengendalikan kesuburannya merupakan komponen yang tidak terpisahkan dari
kesehatan reproduksi. Sehat juga mencakup sehat mental dan sehat sosial agar
proses reproduksi terlaksana dalam keadaan yang sehat. Kesehatan reproduksi remaja secara garis
besar dapat dikelompokkan empat golongan faktor yang dapat berdampak buruk
bagi kesehatan
repoduksi yaitu :
a.
Faktor sosial-ekonomi dan demografi (terutama
kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah, dan ketidaktahuan tentang perkembangan seksual dan proses reproduksi, serta lokasi tempat
tinggal yang terpencil).
b.
Faktor budaya dan lingkungan (misalnya, praktek
tradisional yang berdampak buruk pada kesehatan reproduksi, kepercayaan banyak
anak banyak rejeki, informasi tentang fungsi reproduksi yang membingungkan anak
dan remaja karena saling berlawanan satu dengan
yang lain, dsb).
c.
Faktor psikologis (dampak pada keretakan orang tua
pada remaja, depresi karena ketidakseimbangan hormonal, rasa tidak berharga
wanita pada pria yang membeli kebebasannya secara materi, dsb).
d.
Faktor biologis (cacat sejak lahir, cacat pada saluran
reproduksi pasca penyakit menular seksual, dsb)Pada saat
ini, banyak remaja yang sudah melakukan hal – hal kecil seperti ciuman yang
menurut mereka hal itu adalah wajar, padahal hal tersebutlah yang menjadi awal
terciptanya seks bebas. Seks merupakan ketertarikan satu dengan yang lain
secara lahiriah (daya tarik seks). Hal itu mungkin wajar jika dilakukan secara
sah atau ketika sudah muhrim. Namun, seks bebas merupakan kegiatan seks yang
dilakukan pada saat remaja belum sah menjadi suami – istri sehingga seks bebas
menjadi salah satu dampak negatif yang ditimbulkan oleh adanya pergaulan bebas.
Remaja menganggap seks merupakan bukti keseriusan cinta mereka kepada orang
yang mereka cintai. Cinta merupakan perasaan kasih sayang yang ditandai dengan
perhatian, rasa perduli, kepercayaan dan pengorbanan sehingga mampu membahagiakan
orang yang dicintainya. Sikap yang masih labil menyebabkan remaja seringkali
terjebak dalam cinta gila, penyebab remaja mudah terjebak dalam cinta gila
antara lain:
· mudah
tergugah emosi dan nafsunya yang kuat
· tidak bisa
mengontrol atau mengekang emosi
· sehingga
hanyut dalam gelombang cinta
Saat ini remaja
sangat rentan dengan bahaya yang timbul karena pengetahuan mereka
yang minim mengenai kesehatan reproduksi. Masalah-masalah yang timbul adalah
pertama, perkosaan. Perkosaan tidak hanya terjadi kepada perempuan, juga
terjadi pada laki-laki (sodomi). Pada kasus perkosaan biasanya yang
sering menjadi korban adalah pihak perempuan. Perkosaan tidak hanya terjadi
pada dua orang yang sebaya tapi banyak kasus menunjukan perkosaan terjadi pada anak
di bawah umur oleh orang tuanya atau anggota keluarga yang lain. Kedua, free sex atau seks bebas yang biasa dilakukan
remaja (kurang dari 17 tahun) dengan pacar mereka atau dengan pasangan yang
berbeda-beda. Seks bebas dapat memperbesar kemungkinan penularan virus HIV atau
penyakit seksual lainnya. Tindakan ini biasanya dibarengi dengan pemakaian
obat-obatan terlarang yang makin memperparah kondisi psikologis remaja.
Ketiga, kehamilan
yang tidak diinginkan, hal ini berkembang karena adanya mitos
yang beredar di masyarakat bahwa melakukan hubungan seksual merupakan bukti
cinta sebuah hubungan. Sebuah penelitian menyebutkan, selama
kurun waktu 1993 – 1995 tentang kasus remaja putri hamil
sebelum menikah berjumlah 210 orang. 210 orang
tersebut terdiri dari wanita yang berusia antara 15 – 24 tahun serta wanita yang berpendidikan SLTP hingga
universitas yang berkunjung ke Pusat Pelayanan Informasi Remaja Cendra Mitra
Remaja dan Klinik WKBT PKBI di Medan, Sumatra Utara. Dari penelitian tersebut terungkap bahwa:
a.
senggama pertama terjadi setelah tiga bulan pacaran pada 25 kasus,
b.
waktu enam bulan pacaran terdapat 62 kasus senggama
c.
waktu satu tahun pacaran terdapat 110 kasus senggama, dan
d.
ada yang memiliki mitra seks lebih dari satu.
Selain di
Medan, penelitian juga dilakukan di Rumah Sakit di Surabaya pada tahun 1976 –
1979. Dari 574 pengunjung, sebanyak 234 adalah remaja hamil diluar nikah dan
67,50% dari remaja hamil diluar nikah adalah siswa SLTA. Sehingga banyak korban yang akhirnya
memutuskan untuk melakukan aborsi. Aborsi juga merupakan masalah yang besar
dalam kesehatan reproduksi. Masalah lain yang akan terjadi adalah perkawinan
dini yang akan berimbas pada kondisi psikologis remaja karena remaja yang
berumur kurang dari 17 tahun belum siap untuk melakukan hubungan seksual dan
kehamilan Tahun 1993 – 1994 terjadi kasus 236 remaja hamil belum
menikah berusia 14 – 21th, ini merupakan usia wanita SLTP sampai Perguruan Tinggi.
Mereka datang untuk melakukan gugur kandungan. Tahun 1998 penel pada 405 remaja
ke klinik di Jakarta untuk aborsi 50% berusia 15-21 th. Tahun 1994 58% dari 11.503 kasus aborsi berusia 15 – 24th dan
62%nya adalah belum menikah. Dengan berhubungan seksual juga akan
menimbulkan Infeksi Menular Seksual (IMS) atau Penyakit Menular Seksual (PMS).
Banyaknya remaja yang melakukan hubungan seks diluar
nikah menyebabkan remaja tersebut akan mengalami nikah muda, pernikahan dini
dapat menimbulkan adanya peningkatan jumlah penduduk karena semakin banyak
remaja melakukan hubungan seks maka akan semakin banyak anak yang dilahirkan.
Seperti yang terjadi pada sekarang ini, jumlah penduduk Indonesia meningkat
setiap tahunnya karena semakin banyaknya pernikahan – pernikahan muda yang
dilakukan oleh remaja – remaja di Indonesia. Hal tersebut tidak akan terlepas
dari faktor kesehatan reproduksi baik pria maupun wanita. Semakin muda umur
menikah maka semakin mudah seorang remaja mempunyai anak. Namun, hal tersebut
akan berbeda jika remaja melakukan aborsi, remaja yang melakukan aborsi telah
mengurangi jumlah calon penduduk karena remaja tersebut sama saja dengan
membunuh calon bayi yang ada di kandungannya. Oleh sebab itu, diperlukan adanya
pemahaman tentang kesehatan reproduksi remaja dan cara agar terhindar dari hal
– hal negatif yang sekarang ini justru banyak diikuti oleh remaja Indonesia.
Piramida penduduk Indonesia berbentuk kerucut, ini
berarti lebih banyak penduduk yang berusia muda. Hal tersebut akan semakin
bertambah dengan semakin cepatnya penduduk remaja tersebut menikah. Seharusnya
pemerintah mampu mengatasi adanya pernikahan muda tersebut agar dapat menekan
jumlah penduduk Indonesia. Banyaknya remaja di Indonesia ditambah dengan
kurangnya pengetahuan mereka terhadap Kesehatan Reproduksi Remaja membuat
remaja kurang tanggap terhadap adanya pergaulan bebas yang dapat mendorong
mereka ke hal – hal negatif.